Apa ancaman atau sangsi bagi warga Malaysia pelaku incest dan orang-orang yang terkait dengan itu? Seharusnya dicambuk (al-jald) dan penjara seumur hidup. Demikian diungkapkan Perdana Menteri Mahatir Muhammad dan para menterinya setahun lalu (2002).
Malaysia merupakan salah satu negara yang secara resmi menyatakan Islam sebagai agama negara. Akan tetapi, khusus dalam kasus incest belum diatur. Kata Mahatir sendiri,”Kami tak pernah memiliki hukuman cambuk di muka umum sebelumnya. Namun, jika rakyat menginginkannya dan memberi pemerintah mandat untuk melaksanakannya, kami bisa melakukannya karena ada banyak orang tak bermalu di masyarakat kami”.
Statemen itu dimunculkan seiring dengan rentetan kasus sumbang mahram yang diberitakan secara luas, seperti New Straits Times (Kuala Lumpur), The Star (Kuala Lumpur) atau The Straits Times (Singapur). Sumbang mahram (incest) adalah perbuatan cabul (seks) yang terjadi di lingkungan keluarga, dalam ikatan tali pernikahan. Dalam konteks tradisi Islam, istilah itu disebut dengan muhrim (mahram). Pengertian tersebut, sinonim dengan inces dalam kamus Indonesia.
Perbuatan cabul, dalam konteks ini, adalah segala kegiatan seksual, seperti tidak diketahui dan pemaksaan oleh sang pelaku, atau juga kehidupan seks yang bertentangan dengan norma sosial.. Dengan demikian, anak-anak yang dijadikan obyek pornografi juga dapat masuk kategori sumbang mahram.
Kasus incest yang dipublikasikan pada tahun 1992 berjumlah 98 kasus, dan pada tahun 1993 jumlahnya meningkat menjadi 107 kasus. Hubungan pelaku dengan korban, antara lain; ayah, ayah tiri, saudara ayah, kakak, kakak ipar, kakak tiri, kakek, saudara kakek, kakek tiri, dan sepupu. Kasus serupa adalah rogol (kekerasan seksual) yang di dalamnya ada incest juga. Prosentasenya meningkat pula. Tahun 1995 83,4% dan 1998 84 %.
Bersamaan dengan lontaran hukuman di atas, pengadilan Malaysia telah menyidangkan kasus incest. Yaitu, salah seorang yang telah memperkosa keponakannya yang cacat mental (13 tahun) dan hamil dua bulan. Lebih menghebohkan lagi, seorang gadis (12 tahun) yang diperkosa ayahnya, kakeknya, dan saudaranya sejak berusia 5 (lima) tahun.
Sumbang mahram-pun berlaku antara ibu dengan anak kandung lelakinya, ibu tiri dengan anak lelaki dan antara ibu dengan anak perempuannya. Hanya saja, kasus-kasus demikian jarang dilaporkan.
Peristiwa incest seringkali terjadi di kawasan pedesaan dan perkotaan (BTN, Perumnas, real estate, dst). Korbannya adalah mereka yang berusia anak-anak dan remaja (di bawah umur 16 tahun). Menurut catatan tersebut, yang kerap menjadi mangsa sumbang mahram adalah anak-anak dan remaja lelaki di luar rumah. Lalu, gadis perawan di dalam rumah dan sekitarnya.
Mengapa Terjadi?
Kesan yang kasatmata dari cara penyelesaian kasus sumbang mahram di Malaysia adalah karena penerapan syari’at Islam yang tidak efektif, bukan karena faktor lainnya. Seperti kata Mahathir sendiri, “Kami menyediakan fasilitas bagi mereka untuk mempelajari agama, namun seringkali, daripada belajar tentang nilai moral, fokusnya malah ke politik”. Karena Islam sebagai asas negara, tentu hal demikian dianggap lumrah. Namun, bukan berarti hal demikian tidak ada perlawanan atau perdebatan. Organisasi-organisasi perempuan dan para aktifis telah melakukannya.
WAO (Women’s Aid Organisation) adalah satu di antara organisasi perempuan yang peduli terhadap kasus incest (sumbang mahram) dan hukuman cambuk. WAO atau Pertubuhan Pertolongan perempuan mengungkapkan, organisasi-organisasi perempuan yang ada telah menyeru bahwa penekanan hukuman berat di publik untuk memerangi sumbang mahram bukanlah pendekatan yang holistik. Hal itu, amat kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Perdebatan hukum cambuk (sebatan rotan) dan penjara seumur hidup, bukanlah sekedar syari’at Islam, tapi juga perebutan kepentingan yang ada di Malaysia. Demikian, kira-kira menurut mereka. Lalu, jika benar akan diberlakukan hukuman itu, maka harus mengamandemen peraturan hukum yang telah ada sebelumnya. Sebab, menurut beberapa analis dan aktifis Malaysia, tujuan tadi hanyalah untuk mengalihkan perhatian dan alasan klise Pemerintah. Pengalihan bisa dilihat dari berbagai permasalahan krisis yang melanda Barisan Nasional (BN) Malaysia. Misalnya, krisis MCA, dana UMNO yang tidak jelas, atau persoalan siapa yang akan menggantikan posisi Mahatir, dst.
Adapun yang klise, “Orang Melayu itu harus dipaksa, walaupun ia tidak rela dan membantah dengan menjerit”, kata Mahathir. Hal demikian, konon, karena Mahathir ingin meniru gaya Kamal Attaturk di Turki. Sayangnya, pemikiran itu hanya impian dia saja. Anwar Ibrahim juga dapat disebut salah sebuah contoh kasusnya. Padahal, Anwar ingin mengembalikan BN dan UMNO pada landasan yang tepat. Pada penyelesaian kasus Pulau Tukong dengan Singapura, juga di antara kesewenang-wenangan lain Pemerintah.
Maka tak berlebihan, bila lontaran hukuman seumur hidup dan cambuk tersebut dipertanyakan. Lebih-lebih, selang beberapa saat dikampanyekan, draft peraturannya diserahkan ke parlemen Malaysia, yang mayoritas anggotanya dari UMNO sebagai partai Pemerintah. Dengan proses singkat ini, kiranya, apa yang menjadi keprihatinan Pemerintah terhadap kasus sumbang mahram menjadi tanda tanya besar, apakah demi kesejahteraan masyarakatnya atau kepentingan para elit untuk kelangsungan kekuasaannya?
Kembali lagi pada Keluarga
Menurut pengalaman WAO dalam menangani berbagai kasus, yang terberat dari akibat sumbang mahram adalah pengaruh bagi korban dan keluarganya. Apalagi, pelakunya itu sanak famili atau orang yang dekat dan dikenali korban. Hal ini, memang rumit dan pelik. Karenanya, WAO mengusulkan, agar pendekatan pemulihan lebih diutamakan. Bahkan, jika hukuman berat tadi sudah diputuskan, maka pendekatan pemulihan juga harus diformalkan dalam undang-undang.
Selain WAO adalah laporan analisis yang dipaparkan dalam http://www.commhlth.medic.ukm.my/penerbitan/buletin/97/sumbang.htm. Menurutnya, keluarga adalah faktor terpenting. Secara ekonomi, bagi keluarga yang rendah pendapatannya, lalu sibuk bekerja, memungkinkan sumbang mahram terjadi. Adapun dilihat dari relasi sosial, rumah yang berjauhan tata letaknya, atau keluarga yang berada di lingkungan real estate, dan rumah keluarga yang sempit untuk menginap adalah situasi lain bagi pelaku sumbang mahram melakukan aksinya. Jadi, faktor ekonomi, baik golongan menengah ke bawah atau menengah ke atas, sebenarnya mempunyai potensi yang sama bagi kejadian sumbang mahram. Dari semua itu, kiranya untuk mengantisipasi lebih dini, keluarga adalah tempat yang baik.
Hukuman seberat apapun, bila korbannya adalah anak-anak dan remaja, barangkali kurang tepat untuk dilaksanakan. Mereka masih takut untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya, apalagi pelakunya dari orang yang dihormati dalam keluarga (kakak, ayah, kakeknya sendiri, dst. Oleh Karpal Singh, salah seorang politisi oposisi dan pembela hukum, dikatakan, solusi hukuman cambuk akan membuat negara mendapat kemarahan internasional.
Dengan demikian, memulihkan korban incest adalah hal-hal yang harus diutamakan trauma psikologis, biologis, dan masa depan mereka). Sama halnya dengan pentingnya hukuman bagi pemangsa sumbang mahram, agar mereka jera dan menyadari “kebejatan”-nya.
Pendidikan dan pengajaran agama yang tepat tentang seks perlu sejak dini di keluarga dan sekolah. Itu satu hal yang penting untuk pencegahan dan antisipasi. Sehingga, agama yang dipahami adalah agama yang melindungi, mendamaikan, dan berpihak pada kemanusiaan. Tak kalah pentingnya juga, peningkatan pendapatan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya kelompok mustadl’afin (kaum miskin papa, pinggiran, dan minoritas). Di atas semuanya, mungkinkah hal itu menjadi kenyataan di negara yang para elitnya “haus” akan “kursi” kekuasaan?
Browse: Home > Sedarah > Hukuman Sumbang Mahram (Incest) di Malaysia: Kepentingan Elit
Kamis, 18 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar