Kebodohan bangsa Malaysial telah menutupi keangkuhannya, tak pernah melihat dan menyadari fakta yang sesungguhnya bahwa bangsa Indonesia Raya mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam mencerdaskan bangsanya. Mereke terlena oleh kemegahan-kemegahan yang semuanya adalah hasil jerih payah Putra-putri Terbaik Bangsa Indonesia
Tak pernah terbayang dalam benak Sadono Sukirno akan menjadi dosen di Universitas Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Selepas studi ekonomi di Universitas Nomensen Medan, Sadono berkesempatan melanjutkan studi ke Belanda. Ketika ia pulang, ada tawaran untuk mengajar di Universitas Malaya, universitas pertama dan tertua di Malaysia.
Kariernya di Universitas Malaya (UM) pun menanjak. Sebagai profesor madya di Fakultas Ekonomi dan Administrasi UM, Prof Sadono—begitu ia akrab disapa—amat disegani para mahasiswa. Tidak hanya itu, buku-buku teks yang dibuatnya tidak hanya digunakan di Malaysia, tetapi juga di Indonesia.
"Bagaimanapun, saya tetap orang Indonesia. Itu sebabnya, saya tidak mau pindah warga negara. Saya hanya menjadi permanent resident. Anak saya satu-satunya pun tinggal di Bintaro, Jakarta Selatan. Saya masih berkeinginan untuk bisa pulang ke Indonesia," ungkap Prof Sadono yang sudah pensiun dan tiap pagi setia menengok satu hektar kebun anggreknya itu.
Sriwidodo Soedarso PhD - University Kuala Lumpur-Malaysian Institute of Aviation Technology
Prof Sadono tidak sendirian. Masih banyak cerdik pandai dari Indonesia yang hingga kini masih membaktikan hidupnya untuk kemajuan pendidikan di Malaysia.
Sebut misal, Sriwidodo Soedarso PhD, alumnus Universitas Muhammadiyah Solo, dan pernah membaktikan hidupnya di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) (1988-2004), kemudian menjadi Technical Advisor Aircraft Manufacturing Technology and Quality di Northrop Rice USA Inc (NRUSA), Houston-Texas-AS.
"Sejak 31 Juli 2004, saya bersama orang-orang Amerika mendirikan Institut Teknologi Penerbangan Malaysia (University Kuala Lumpur-Malaysian Institute of Aviation Technology/ UniKL-MIAT) di Sepang ini. Lembaga ini mirip STPI (Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia) Curug. Dulu daerah ini masih belantara, belum ada apa-apa. Kami memulai dari awal. Pak Mahathir-lah yang menarik saya, saat beliau berkunjung ke Northrop-AS," tuturnya di tengah ruang kuliah berupa hanggar pesawat.
Di hanggar itu ada sejumlah pesawat komersial dan pesawat tempur. Salah satu pesawat komersial itu semula milik Garuda Indonesia yang sudah dibeli oleh Malaysia Airline System (MAS) dan kini menjadi sarana praktik para mahasiswa.
Sebagai dosen senior di UniKL-MIAT, Sriwidodo berkewajiban membuat buku teks yang selalu diperbarui setiap saat sesuai perkembangan teknologi dan mendampingi para mahasiswa. Bagi mahasiswa, saat paling menyenangkan adalah kuliah praktik yang dilakukan di hanggar yang dilengkapi sejumlah pesawat penumpang dan satu helikopter. Kepada mahasiswa diajari bagaimana menarik pesawat, menyalakan mesin, membawa pesawat berputar di lapangan depan hanggar meski tidak diterbangkan.
"Memang, mengajar di sini amat menyenangkan. Dosen benar-benar dimanja. Tugas utamanya hanya mengajar dan membuat buku teks. Gaji pun lumayan. Namun, seenak-enaknya bekerja di negeri orang, masih lebih nikmat bekerja di rumah sendiri. Saya tetap punya keinginan untuk pulang ke Indonesia meski setelah kontrak dengan MIAT selesai, saya akan ke Dubai dulu," ungkap Sriwidodo.
Sriwidodo sendiri mengakui, betapa banyak orang Indonesia yang sebenarnya pandai dan mampu berkiprah di dunia internasional. "Jangan kaget ya, MIAT juga sudah bisa bikin pesawat lho," ungkap Sriwidodo.
Sekitar 70 PhD
Lain lagi pengalaman Mohammed Ali Berawi PhD, dosen senior pada Fakultas Teknik UM. Alumnus Teknik Elektro Universitas Sriwijaya, Palembang, lalu mengambil S-2 Teknik Sipil di UM dan meraih Doctor of Philosophy (PhD) Value Engineering and Innovation di Oxford Brookes University, Inggris, itu kini menjadi salah satu dosen andalan di Fakultas Teknik UM.
Meski usianya masih muda, penghasilan sebagai dosen sudah lebih dari cukup. Selain memberi gaji yang cukup, pihak universitas juga menyediakan rumah untuk menampung para dosen. Dan sebagai dosen yang baru menikah, Berawi juga mendapatkan satu rumah untuk ditinggali.
"Istri saya sedang di Indonesia. Sekarang sedang mengandung anak pertama. Semoga semua berjalan lancar," katanya di sela-sela kesibukannya. "Maaf, tidak bisa lama-lama, karena saya harus menguji," ujarnya.
Sriwidodo dan Mohammed Ali Berawi hanya contoh dari begitu banyaknya cerdik pandai Indonesia yang mengabdikan diri di negara jiran ini. Diperkirakan saat ini ada sekitar 70 doktor dari IPTN—kini menjadi PT DI dan digugat untuk dipailitkan oleh bekas karyawannya—yang bekerja di Malaysia.
Jumlah itu baru dari satu lembaga yang pernah berkibar dengan produksi pesawat di Indonesia. Lembaga lain yang disebut-sebut banyak "menyetor" orang pandai ke Malaysia adalah Pertamina.
"Di University of Malaya, ada 18 pengajar dari Indonesia. Ada yang mengajar di Fakultas Teknik jurusan Arsitektur, Fakultas Ekonomi, Sastra, atau bidang studi Islam. Memang, untuk menjadi dosen di UM paling tidak harus bergelar PhD. Ada sejumlah profesor yang menjadi visiting professor, dan mereka itu dikontrak," ungkap Kamila Ghazali, dari Kantor Hubungan Internasional dan Korporat Universitas Malaya.
Meski demikian, kebanyakan cerdik pandai dari Indonesia atau negara lain yang menjadi dosen di sejumlah perguruan tinggi itu umumnya dikontrak. Lama kontrak disesuaikan dengan kebutuan perguruan tinggi setempat.
"Meski demikian, banyak juga dosen-dosen Indonesia yang kontraknya terus diperbarui," tutur M Imran Hanafi, Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur.
Browse: Home > Indonesiakoe > Peranan Orang Indonesia Memajukan Pendidikan Tinggi Malaysia
Selasa, 29 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Rintihan bangsa indonesia yang lemah dan hina.
Mengharapkan sesuap nasi seperti anjing
Posting Komentar